Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Macam-Macam Gaya Ushūliyyun Menyusun Kitab Ushūl al-Fiqh


Oleh: Muhammad Zainuddin Ruslan
(Disarikan dari Muhadoroh Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi di Masjid Al-Azhar)

Lumrah kita ketahui, bahwa orang pertama yang menulis karya dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh adalah Imam al-Syāfi’i (w. 204 H) dalam kitabnya Al-Risālah. Tetapi apakah dengan demikian, lantas orang-orang boleh mengira bahwa para ulama sebelum Imam al-Syāfi’i, khususnya dua imam madzhab Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik (w. 179 H) mengumpulkan mazhabnya tanpa landasan Ushūl?

Tentu tidak! Karena yang kita deklarasikan, bahwa Imam al-Syāfi’i adalah pionir dalam penyusunan kitab yang memuat kaidah-kaidah baku dalam ilmu Ushul Fiqh, tetapi bukan beliau orang pertama yang berbicara dalam ini. Sebab kita sepenuhnya percaya, bahwa kaidah-kaidah tersebut secara teoritis dan amaliyah telah melekat dalam otak para ulama mujtahid sebelum Imam al-Syāfi’i dan diterapkan dalam merespon setiap pertanyaan dan permasalahan.

Bahkan ijtihad sebagai salah satu buah daripada Ushul Fiqh, sudah ada sejak zaman Nabi SAW, diterapkan oleh beliau sendiri dan dicontohkan kepada para sahabatnya.

Misalnya penggunna Qiyas. Pada Kisah Umar bin Khattab RA, ketika datang mengadu kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, saya mencium istri ketika puasa.”

Mendengar pertanyaan tersebut Nabi SAW malah balik bertanya kepada Umar. Dan apa yang menjadi jawaban pertanyaan Nabi kepada Umar itulah yang nantinya menjadi jawaban pertanyaan Umar kepada Nabi. “Bagaimana sekiranya kalau kamu berkumur-kumur ketika berpuasa, apakah puasamu batal?” Tanya Nabi.

Umar menjawab: “Tidak”.

Coba perhatikan! Umar bertanya tentang hukum mencium di siang hari puasa, tetapi Nabi membalas bertanya tentang hukum berkumur-kumur.

Antara kumur-kumur dan mencium memiliki titik kesamaan. Kumur-kumur adalah mukaddimah bagi sesuatu yang membatalkan puasa menurut kesepakatan semua ulama, yaitu menelan air. Begitupun ciuman, menjadi mukaddimah bagi sesuatu yang membatalkan puasa menurut semua ulama yaitu bersenggama. Maka sebagaimana berkumur-kumur tidak membatalkan puasa karena hanya mukaddimah, begitupun halnya dengan mencium.

Padahal sebenarnya bisa saja Nabi langsung menjawab secara gamblang: “Puasa kamu sah.” Atau “Puasa kamu batal”. Tetapi beliau memberikan contoh suatu bentuk Qiyas dan metode mengaktifkan akal yang benar.

Begitupun qiyas beliau SAW untuk menjawab seorang sahabat perempuan yang datang bertanya: “Ibu saya bernazar berhaji, kemudian ajal menjemputnya sebelum menunaikan nazar tersebut, apakah saya sebagai anak berkewajiban membayar nazarnya?”

Bisa saja Nabi SAW menjawab pertanyaan itu dengan gamblang: “Iya, berhajilah untuk almarhumah ibumu”. Tetapi cara menjawab beliau lebih tersistem, dengan balik bertanya kepada perempuan itu, yang mana jawaban Sohabiyah itu atas pertanyaan Nabi, itulah menjadi jawaban Nabi SAW atas pertanyaannya.

“Seandainya ibumu meninggal dalam keadaan punya hutang uang kepada orang lain, bukankah kau berkewajiban melunasi hutang tersebut?” Sohabiyah itu menjawab “Iya.” Lalu Nabi SAW memantapkan “Nah, hutang ibumu kepada Allah lebih pantas untuk dilunasi.” Beliau menjawab dengan metode qiyas, menganalogikan hutang kepada Allah (hukum far’)  dengan hutang kepada anak adam (hukum ashl), karena memiliki illat yang sama yaitu “tanggungan yang harus dipenuhi”.

Inilah Ushul Fiqh!

Imam Syafi’i meletakkan pondasi Ushul Fiqh dengan metodologi keilmuan yang kokoh dalam Kitabnya Al-Risalah. Penamaan Al-Risalah bukan dari Imam Syafi’I sendiri. Asal-muasal penamaannya melihat latar belakang sebagai surat (risalah) yang dikirimkan kepada Imam Al-Hafizh Abdurrahman bin Mahdi seorang ulama besar hadits Iraq kala itu sebagai jawaban permintaannya. Kitab ini memuat pondasi ilmu-ilmu amat berharga yang tak terhitung nilainya, sehingga ulama yang datang setelah itu tinggal mensyarah dan menambah fasal-fasal baru.

Ulama Fikih dan Ushul Fiqh menetapkan metodologi ilmiah yang sangat rapi, dengan menjadikan asasnya Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian dari asas ini, diperahlah kaidah-kaidah umum yang sarat akan makna dan mencakup banyak juz’iyyat. Kemudian asas dan kaidah-kaidah inilah yang dijelaskan dan diuraikan untuk menjawab segala problematika kehidupan manusia yang terus berkembang.

Maka ilmu Ushul Fiqh yang telah muncul di kalangan umat Islam semenjak 14 abad lalu inilah yang pada zaman mutakhir digencarkan sebagai rujukan dalam merumuskan hukum ketata-negaraan dengan nama asas-asas perundang-undangan (ushul al-qanun). Mengapa ulama salaf kita mampu menemukan dan merumuskan metodolgi emas ini?

Sebab mereka adalah umat yang benar-benar tulus, hatinya tidak tercemari oleh riya dan tidak senang berbangga dengan dunia. Konsentrasi mereka tercurahkan pada ilmu dan mengamalkannnya, maka Allah menuliskan setiap yang mereka tuturkan dan tuliskan sebagai cahaya. Pada kenyaataannya, kita yang hidup pada zaman kemajuan ini, untuk membaca pejelasan para ulama salaf ini saja banyak yang tidak mampu kita pahami, tetapi masih saja kita mendengar orang yang lancang berkata: “Mereka ulama salaf itu manusia, kita inipun manusia.”

Metodogi Penulisan Karya Ushul Fiqh

Apabila mengamati karya-karya dalam Ushul Fiqh, kita akan mendapati penyusunan dengan beragam gaya, yaitu:

1.                Kitab Ushul Fiqh Muthowwal (Kitab-Kitab Besar)

Gaya ini ada dua macam:

a.             Ada kitab muthowwal yang mencakupi seluruh atau sebagian besar pembahasan Ushul. Misalnya Kitab Al-‘Umad karya Al-Qādhi Abdul Jabbar; Kitab Al-Mu’tamad Imam al-Tirmizi Abu al-Husen al-Bashri; Kitab al-Burhān karya Imam al-Juwaini; dan al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali.

b.             Ada juga kitab Ushul Fiqh Muthawwal yang membahas bagian tertentu saja, misalnya Kitab al-‘Iqd al-Manzhūm Fī al-Khushūs wa al-‘Umūm karya Imam al-Qarāfi al-Maliki, menguraikan pembahasan Umum dan Khusus saja dalam dua jilid besar, yang memuat ilmu sangat banyak mengingat derajat keilmuan al-Qarafi yang sulit tertandingi pada masanya. Contoh lain Kitab Risālah Fī al-Qiyās karya Imam Ibnu Taimiyah .

2.              Kitab-Kitab Mukhtashar

Ini juga ada dua macam:

a.             Kitab mukhtasor yang diringkas dari kitab besar. Misalnya:

-                 al-Fāiq Fī Ushūl al-Fiqh karya Shofiy al-Hindi yang diringkas dari kitabnya al-Nihāyah.
-                 Muntahā al-Sūl Ilā ‘Ilm al-Ushūl milik Imam al-Āmidi, yang diringkas dari kitabnya al-Ihkām.
-                  Kitab al-Hāshil karya Tājuddin al-Armawi yang diringkas dari kitab Al-Mahsūl karya gurunya Fakhruddin al-Rāzi.
-                 Bahkan al-Mahsūl milik al-Rāzi dan al-Ihkām milik al-Āmidi sendiri diramu dan diringkas dari empat kitab, yaitu al-‘Umad, al-Mu’tamad, al-Burhān dan al-Mustashfā
-                 Begitupun al-Minhāj milik al-Baidhowi, diringkas dari al-Hāshil. Berarti ini ringkasan dari ringkasan.

b.             Kitab Ushul Fiqh mini yang bukan ringkasan dari kitab besar. Misalnya al-Waraqāt milik Imam Haromain al-Juwaini ini, kecil tapi bukan diringkas dari kitab lain. Begitupun al-Luma’ milik Syekh al-Syirāzi. Dan Al-Wajīz milik al-Karamasti

3.              Syarah dari Kitab Mukhtasor dan Kitab Muthawwal, misalnya:

-          Kitab al-Mahshūl karya al-Rāzi, disyarahkan oleh al-Qarāfi dalam Kitab al-Nafāis. Juga oleh al-Ashfahāni dalam kitab al-Kāsyif. Dua kitab ini merupakan rujukan penting yang tidak layak tidak dimiliki oleh siapapun yang berkonsentrasi mempelajari Ushul Fiqh.
-          Kitab al-Minhāj oleh al-Baidhawi, memiliki sekitar 40 syarh, di antaranya al-Isnāwi, al-Badakhsyi, al-Jarbardi, al-Ashfahāni, al-Jazari dan lain-lain.

4.             Hasyiah, yaitu komentar atas kitab syarah.

Faidah daripada hasyiah adalah memberikan penjelasan daripada penjelasan (syarah) yang masih membutuhkan penjelasan. Misalnya kitab Jam’u al-Jawāmi’ milik Imam Subki, yang sebenarnya merupakan ramuan dari 100 kitab sebagaimana diterangkan dalam mukaddimah, sehingga beliau melarang ulama setelahnya untuk meringkas karyanya ini, walaupun di kemudian hari Imam Zakaria al-Anshori mengikhtisornya.

Di antara yang mensyarahkan Jam’u al-Jawāmi’ adalah Jalaluddin al-Mahalli. Syarh Imam al-Mahalli ini memiliki dua hasyiah: yaitu Hasyiah al-Bannāni dan Hāsyiah al-‘Atthār.

Al-Mahalli sendiri disifati oleh sebagai pemilik otak yang sangat jenius dalam memahami dan menguraikan matan. Karakteristik syarahnya dikenal menjelaskan suatu matan dengan matan-matan yang lain. Karena itulah, syarah-syarahnya terkadang masih membutuhkan kepada perincian terhadap mujmal dan menerangkan yang mubham.

5.             Pembuatan Manzhumah dalam Ushul Fiqh

Yaitu dengan menjadikan suatu matan menjadi syi’ir. Madrasah Syafi’iiyyah banyak menyadur matan-matan mukhtashor menjadi manzhumah agar mudah dihafal dan menempel di otak. Nazhom ini disebut dengan al-Nazhom al-Ta’līmī, dengan menggunakan bahr rajaz yang memiliki 6 taf’īlāt ketika dalam keadaan sempurna (detailnya bisa merujuk ke ilmu arudh).

Di antara yang menggunakan metode ini adalah Jalāluddin al-Suyūthi (w. 911), menazhomkan kitab Jam’ul Jawāmi’ milik al-Subki dalam 1450 bait, yang digabungkan dalam kitabnya yang berjudul al-Kaukab al-Sāthi’. Dan dia syarah sendiri dalam kitab yang bernama Syarh al-Kaukab al-Sāthi’.

Contoh manzhumah lain, misalnya Imam al-Hāfiz al-‘Irāqi juga menazhomkan al-Minhāj milik al-Baidhāwi dalam 1376 bait.



Posting Komentar

0 Komentar