Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Sejarah Ilmu dan Lingkaran Ilmu (Da'irah al-Ulum al-Kulliyah)

 

“Sejarah Ilmu dan Lingkaran Ilmu (Dâirah al-Ulûm al-Kulliyah)”[1]



Disusun oleh: M. Hariz Farezi Fadza

 

Tak jarang terbesit dalam pikiran sebagian orang, “Darimana asalnya ilmu itu? Bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa muncul?”. Mari kita mundur ke belakang menjelajahi sejarah mula peradaban hidup manusia, karena sejatinya ilmu itu ada karena adanya manusia yang Allah karuniakan dengan akal dan muliakan dengan ilmu[2].

            Allah swt. telah menciptakan tiga kitab (pedoman pengetahuan):

1.     Kitabullah al-Masthur (Wahyu)

2.     Kitabullah al-Manzhur (Alam Semesta)

3.     Kitabullah al-Maqdur (Manusia)

3 kitab inilah yang dijadikan para ahli ilmu sebagai Mashadir al-Ma’rifah (sumber pengetahuan). Tetapi sebagian dari mereka berbeda-beda dalam menjadikan mana yang menjadi sumber utama. Sebagian mengatakan sumber pengetahuan itu akal semata, sebagian lagi mengatakan panca indera saja, ataupun keduanya, dan ini yang dijadikan sandaran oleh para ahli filsafat. Sedangkan menurut ulama Islam, sumber pengetahuan mencakup ketiga hal tersebut; panca indera (untuk mengenal alam semesta), akal (bersumber dari manusia untuk mengetahui hakikat sesuatu), dan khabar yang mutawatir[3] (dari wahyu).

Kemudian manusia (yang menjadi salah satu sumber pengetahuan tadi) mulai berinteraksi dengan alam semesta dan semua sumber pengetahuan itu. Sehingga menghasilkan beberapa pertanyaan besar: “Siapa saya?", “Darimana saya berasal?”, “Apa yang Saya Lakukan Disini?”, dan “Kemana Tempat Kembali?”. Seakan-akan pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan masa lampau, sekarang, dan masa depan.

• Siapa saya? Saya adalah manusia yang dimuliakan dari sekian makhluk yang Allah ciptakan. Dalam firman-Nya:

}وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا{

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. (QS. Al-Isra’: 70).

Dan satu-satunya makhluk yang diberikan amanah oleh Allah swt. untuk menjadi pemimpin di muka bumi.

• “Darimana Saya Berasal?”. Saya seorang makhluk, butuh kepada pencipta yang mengadakan saya. Dan pencipta itu harus memiliki sifat yang berbeda dari makhluknya. Dialah Allah swt. Sang Pencipta segala sesuatu.

}أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ{

            “Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?!”. (QS. At-Thur: 35).

• “Apa yang Saya Lakukan Disini?”. Yaitu apa fungsi manusia di dunia ini? Allah swt. menciptakan kita karena memiliki tujuan, diantaranya:

1.     Beribadah kepada Allah dan Mengesakan-Nya; sebagaimana firman Allah swt:

{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ}

“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56).

2.     Memakmurkan Bumi; dalam firman Allah swt:

{هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا}

“Dia telah menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya”. (QS. Hud: 61).

3.     Menyucikan Jiwa; sesuai dengan firman-Nya:

{قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا}

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)”. (QS. Asy-Syams: 9).

 

• Pertanyaan terakhir “Kemana Tempat Kembali?”. Ialah kematian dan berpindah dari kehidupan menuju alam akhirat.

{إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي وَنُمِيتُ وَإِلَيْنَا الْمَصِيرُ}

“Sungguh, Kami yang menghidupkan dan mematikan, dan kepada Kami tempat kembali (seluruh makhluk)”. (QS. Qaf: 43).

Dari semua hasil interaksi tersebut, menghasilkan kembali beberapa pertanyaan berkaitan dengan wahyu, alam semesta, dan manusia. Dari sana, mulailah terbentuk lingkaran ilmu yang besar, yang diistilahkan dengan “Dairah al-Ulum al-Kulliyah”, sebagai bentuk jawaban dari pertanyaan-pertanyaan menyangkut sumber pengetahuan itu, dan itu terus berjalan seiring bertambahnya pertanyaan manusia terkait semua hal di dunia ini. Karena ilmu itu (sebagaimana kita kenal sekarang) tidaklah muncul kecuali karena keperluan manusia akan itu[4]. Dan dalam sebuah ibarat mengatakan:

الحاجة أم الاختراع

“Kebutuhan itu ialah induknya penemuan/inovasi”.

            Dalam hal ini, ulama telah membagi Dâirah al-Ulûm al-Kulliyah ini menjadi empat bagian:

1.     al-Ulum at-Thabi’iyyah, adalah ilmu yang mempelajari alam semesta –non manusia- dan semua fenomena di bumi dan di sekitar kita. Beberapa cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu ini antara lain: Ilmu Geografi, Ilmu Fisika, Biologi, dan ilmu alam lainnya.

2.     al-Ulum ma wara’a at-Thabi’ah, adalah lingkaran ilmu yang memahami dan mempelajari segala hal yang berkenaan dengan hakikat dan metafisika –non alam-. Salah satu contoh cabang ilmunya adalah ilmu yang mempelajari segala macam bentuk logika seperti: Filsafat dan Teori-Teori Pemikiran.

3.     al-Ulum al-Insaniyyah, yang merupakan sebuah studi ilmiah dari pengalaman, kegiatan, dan penelitian yang berhubungan dengan manusia. Beberapa cabang ilmunya antara lain: Ilmu Antropologi (Kemanusiaan), Ilmu Kedokteran, Ilmu Keuangan, dan lainnya.

4.     al-Ulum as-Syar’iyyah, adalah ilmu yang sumber pengambilannya dari syariat Islam, yang kemudian terbagi menjadi tiga: Ulum Nushûs al-Wahyi, Ulûm al-Wâqi’, dan al-Ulûm ar-Râbithah.

Ulum Nushus al-Wahyi, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks-teks wahyu, Ilmu ini mempunyai empat lingkaran:

> Pertama, al-Fahm wa al-Ifham (Memahami dan Memahamkan), yaitu lingkaran ilmu yang bertujuan untuk membangun sarana/alat bagi pelajar agar memahami nash (teks agama) dan untuk mampu menyampaikan dan memahamkannya. Terdiri dari ilmu-ilmu Bahasa Arab: Nahwu, Shorf, Balaghah, Isytiqaq, dan lainnya.

> Kedua, at-Tatsabbut wa at-Tautsiq (Autentikasi), yaitu lingkaran yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran atau derajat validitas informasi yang didapat, seperti: Ilmu Hadits, Ilmu Jarh wa Ta’dil, Ilmu Sejarah dan lainnya.

> Ketiga, al-Hujjiyah wa at-Tahlil (Otoritas dan Analisa), yaitu suatu lingkaran yang bertujuan untuk membangun kemampuan menata dalil dan menganalisanya dengan cermat dan mendalam, seperti: Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Ilmu Mantik, dan Adab al-Bahts wa al-Munazharah.

> Keempat, Bina al-Insan, yaitu lingkaran ilmu yang berfungsi membangun manusia yang baik dari segi raganya yang telah diatur dalam Ilmu Fikih atau dari segi jiwanya yang telah diatur dalam Ilmu Tasawuf.

Ulum al-Waqi’ (Realita) adalah cabang ilmu yang berkaitan erat dengan praktik nyata dari al-Ulûm as-Syar’iyyah. Terbagi menjadi empat alam:

Ø  Alam al-Asya’ (Materi), yang cara memperolehnya dengan percobaan atau eksperimen, seperti: Ilmu Fisika, Kimia, Biologi, dan Geografi.

Ø  Alam al-Afkar (Pemikiran), diperoleh melalui: Ilmu Milal wa Nihal (Agama-Agama), al-Firaq (Sekte-Sekte), dan Tayyarat (Gerakan-Gerakan Pemikiran).

Ø  Alam al-Ahdats (Peristiwa), didapatkan melalui: Ilmu Sejarah.

Ø  Alam al-Asykhas (Masyarakat), diperoleh dengan mempelajari: Ilmu Sosial, Hukum, Ekonomi, dan Politik..

al-Ulum ar-Rabithah, adalah cabang ilmu yang menghubungkan antara Ulum Nushus al-Wahyi dan Ulum al-Waqi’ seperti: Ilmu an-Nafs (Psikologi), Ilmu al-Ijtima’ (Sosiologi), dan Ilmu al-Idarah (Manajemen).

Dengan mengetahui 3 lingkaran dari al-Ulum as-Syar’iyyah di atas, menjadikan seorang pelajar mampu memahami nash, menyadari realita sekitar, dan menghubungkan pemahaman nash dengan realita melalui pendekatan yang tepat.

Dari segala penuturan di atas, kita dapat menyadari bahwa sesungguhnya perjalanan seorang penuntut ilmu begitu panjang, dunia ilmu itu begitu luas. Ditambah dengan keterbatasan waktu yang kita miliki sebagaimana kata para ulama:

العلم كثير والعمر قصير

“Ilmu itu luas, sedangkan umur itu pendek”.

            Namun, bukan berarti kita putus asa dan berhenti melangkah karena hal tersebut. Disini kita tetap berjalan sesuai kemampuan dengan memegang kaidah:

ما لا يُدرك كله لا يُترك كله

“Yang tidak bisa ditunaikan sepenuhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”.

Yang dituntut sejatinya bukanlah menyelami semua dan menjadi pakar di seluruh bidang, akan tetapi kita dituntut untuk mengetahui secara umum pondasi-pondasi utama di setiap bidang ilmu tersebut dan menyinergikannya dengan bidang yang kita tekuni (sesuai bakat dan kecenderungan kita) dan berusaha menjadi pakar didalamnya; baik itu dalam bidang kedokteran, sains, agama, dan sebagainya. Sehingga dengan itu,  kita bisa mendapatkan dan merasakan begitu besarnya kesejahteraan hidup dengan ilmu yang akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, juga merupakan suatu jalan yang akan menjadi perantara untuk senantiasa menghamba kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.

Nabi saw. bersabda dalam haditsnya:

طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة

“Menuntut itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”.

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Siapa yang menapaki menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga”.

 

وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم



[1] Catatan dari Dauroh at-Thuruq al-Manhajiyyah bersama Syekh Musthofa Ridho al-Azhari tahun 2020.

[2] Dalam firman Allah swt.:

}وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ{

“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman: Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”. (QS. Al-Baqarah: 31).

[3] Yaitu kabar yang sampai kepada kita melalui orang banyak yang sama subtansi penyampaiannya dan mustahil secara akal untuk mengasumsikan mereka akan sepakat untuk berbohong atas apa yang disampaikan.

[4] Contoh sederhana misalnya dalam Ilmu Nahwu, sejarah mencatat awal mula munculnya ketika Islam mulai menyebar di berbagai penjuru dunia hingga di luar Arab, mulailah terjadi percampuran dan kesalahan dalam melafalkan akhir baris dalam kalimat Bahasa arab yang akibatnya fatal dalam mengubah makna; maka disusunlah Ilmu Nahwu (atas dasar itu) oleh Abu al-Aswad ad-Duali melalui perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. karena hal tersebut dianggap sangat dibutuhkan demi menjaga kemurnian Bahasa arab yang fusha hingga saat ini.

Posting Komentar

0 Komentar