Wadah berbagi informasi dan eksplorasi pengetahuan para pelajar Nusa Tenggara dan Bali di Mesir

Transmisi Hadits Musalsal di Hari Raya Kurban

KM-NTB News – Ahad (11/08), perayaan hari raya Idhul Adha di gelar serentak oleh mayoritas umat Islam di seluruh Dunia. Selain ritual kurban yang lazim dilakukan di hari ini, sampai tiga hari Ayyam al Tasyriq, Yaum al ‘Id (dalam hal ini ‘Idul Adha) memiliki tempat yang istimewa dan spesial di hati para Muhaddits dan Thullab al Hadits. Pasalnya, pada hari ini estafet transmisi Hadits Musalsal  bi Yaum al ‘Id dilakukan. Hadits tersebut akan berpindah dari satu rawi ke rawi yang lain, dari Guru ke Muridnya.
Transmisi Hadits Musalsal sendiri merupakan salah satu tradisi periwayatan hadits yang cukup berbeda dengan periwayatan hadits lainnya. Karena, setiap rawi dalam rangkain sanad hadits ini dituntut untuk melakukan atau menyebutkan sifat yang sama dari hadits yang akan diriwayatkan. Contohnya dalam periwayatan hadits Musalsal Bi Yaum al ‘Id ini, setiap rawi dari setiap tingkatannya menyebutkan kata Fi Yaum ‘id, Fi Yaum ‘Id al Fitri ataupun Fi Yaum ‘Id al Adha.
Para Masyaikh dan Muhadditsin sangat menjaga tradisi ini untuk tetap lestari. Salah satu di antara mereka adalah Prof. DR. Rif’at Fauzi Abdul Mutthalib.  Bertempat di Maktabah pribadi beliau, di Distrik 7, Nasr City, para penuntut ilmu berdatangan untuk mendengarkan hadits Musalsal yang akan beliau riwayatkan. Majlis tersebut berlangsung dari pukul 6 sore waktu Cairo, dan berakhir saat datangnya waktu maghrib.
Hadits yang beliau riwayatkan tersebut berasal dari guru beliau, Syeikh Sholih Ahmad Muhammad Idris al Arkanio al Makki, kemudian guru beliau tersebut mengambil langsung dari beberapa gurunya, dan begitulah seterusnya hingga sampai kepada Baginda Rasulullah .
Hadits Musalsal tersebut yaitu:
...قال عطاء بن أبي رباح في يوم عيد, حدثنا ابن عباس في يوم عيد, قال: شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فطر أو أضحى فلما فرغ من الصلاة أقبل علينا بوجهه, فقال: (أيها الناس قد أصبتم خيرا فمن أحب أن ينصرف فلينصرف, ومن أحب أن يقيم حتى يسمع الخطبة فليقم)
Berbagai tanggapan diberikan oleh para ulama terkait kedudukan hadits ini. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Imam Suyuthi, beliau mengomentari siyaq yang digunakan dalam hadits ini Ghorib (terdapat rawi yang menyendiri dalam periwayatannya), namun dosen Universitas Darul Ulum itu menjelaskan, bahwa hadits yang ghorib tidak serta merta dihukumi dengan Dho’if. Karena, banyak dari hadits yang dihukumi ghorib oleh sementara ulama yang bernialai sahih. Contoh yang paling masyhur adalah hadits tentang Niat. Walaupun terkenal dikalangan ulama dengan ke-Ghorib-annya, namun ulama sepakat bahwa hadits ini  bernilai sahih, hingga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka.
Imam al Hakim berkata: Hadits ini derajatnya sahih atas syarat yang telah ditetapkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, tetapi tidak pernah diriwayatkan di dalam kitab sahih mereka.
Abu Daud berkomentar: Hadits ini Mursal (Seorang rawi mengutip langsung perkataan dari Rasulullah tanpa menyebutkan rawi yang berada di bawah Nabi ). Dalam kasus hadits ini, Guru dari Syeikh Usamah al Azhari itu menerangkan, Mursal yang dimaksudkan oleh Abu Daud adalah Mursal Sahabi , yaitu seorang sahabat mengutip langsung pekataan dari Rasulullah dengan tanpa menyebutkan sahabat lain yang berada di atasnya, walauhal dia meriwayatkan dari sahabat tersebut, bukan langsung dari Rasulullah .  Hal semacam ini tidak menciderai kesahihan suatu hadits, karena sahabat telah dijamin keadilannya oleh Allah swt., dan hadits yang diriwayatkan ini bernilai Musnad (Bersambung sampai Rasulullah ).
‘Ala Kulli Hal, hadits ini telah diriwayatkan oleh tak kurang dari 4  Shohib kutub Sunan, di antara mereka: Imam al Hakim di dalam Mustadraknya, Imam al Dailami di dalam Musnadnya, Abu Daud, Imam Nasa’I, dan Ibnu Majah, di dalam kutub Sunan mereka.
Dari hadits di atas akan timbul beberapa pertanyaan, di antaranya:
Kalau kita menilik lebih jauh dari teks ijazah dari hadits ini, kita akan jarang menjumpai kata yang menyebutkan ‘Id al Adha, dan kata yang banyak disebutkan adalah Yaum ‘Id dan Yaum ‘Id al Fithr. Bagaimana pendapat Syeikh tentang hal ini, apakah relevan juga untuk diriwayatkan di hari raya ‘Id al adha?
Beliau menjawab: Apabila Raulullah memang telah meriwayatkan hadits ini pada waktu ‘Id al Fithr, maka akan lebih aula bagi kita untuk meriwayatkannya juga pada hari raya Idul Adha, dengan dua alasan: (1) Karena terdapat dalam kedua hari raya tersebut Shalat dan Khutbah, Apabila diizinkan untuk insirof (langsung pergi setelah shalat tanpa mendengarkan khutbah) pada hari raya ‘Id al Fitr, maka diizinkan juga hal yang sama pada ‘Id al Adha, dan (2) ‘Id al Adha lebih aula untuk Insirof karena dhorurat kurban.
Apakah hadits ini relevan dipraktikkan  pada zaman skarang?manakah yang lebih afdal, diam mendengarkan khutbah atau langsung pergi setelah shalat tanpa mendengarkan khutbah?
Syeikh menjawab: kita tidak boleh melepaskan suatu hadits dari historisnya (Asbab al Wurud). Karena, dari situlah hukum itu akan jelas. Dulu, para sahabat datang dari tempat yang jauh untuk melaksanakan shalat ‘Id. Oleh sebab itu, Nabi mengizinkan kepada mereka untuk memilih pulang lebih cepat tanpa mendengarkan khutbah dan tidak melarang mereka juga untuk tetap tinggal mendengarkan khutbah. Namun, sekarang keadaannya cukup berbeda, masjid-masjid sudah berada di pelupuk mata, maka sangat dianjurkan untuk tetap tinggal mendengarkan khutbah samapai selesai.
Bolehkah bagi kita untuk mendahulukan khutbah daripada shalat ‘Id untuk menghindari jamaah yang kabur setelah sholat dan tidak mendengarkan khutbah?
Syeikh menjawab: Hal semacam itu Khilaf li al Sunnah (kontradiktif dengan sunah) dan tidak akan membawa perubahan yang cukup berarti. Akan berakibat Tahsil al Hasil; orang-orang yang memang benar-benar tidak mau mendengarkan khutbah akan datang di tengah-tengah khutbah atau di akhir khutbah untuk mengikuti shalat ‘Id saja.
Wallah Ta’ala A’lam
(Red: El Dien)

Posting Komentar

0 Komentar